Jong Batak, organisasi pemuda yang berdiri tahun 1919 di Batavia oleh Dr Abdoel Rasyid Siregar secara sadar melembagakan bentuk-bentuk grup kesenian Tapanuli. Grup ini menjadi perhatian radio Belanda (Nirom) di Batavia. Nirom dirilay sampai ke kota Bandung, Surabaya, Solo dan Semarang. Dalam berbagai kesempatan grup kesenian Batak tampil di radio dan diminta membuat rekaman untuk dimunculkan dalam serial musik daerah. Sejak itu musik Grup Sinondang Sipirok atau Sinondang Tapanuli, dan lagu daerah Batak lainnya mulai dikenal dan popular khususnya di Jawa. Disamping itu Algemeen Indisch Dagblad: de Preangerbode (surat kabar di Hindia Belanda yang terbit di Bandung antara 1896 dan 1957) memomulerkan seni Batak melalui pertunjukan di auditorium Concordia Jakarta. Gondang, uning-uningan, tagading, hasapi, dan hesek dimainkan di bawah naungan komite yang dibentuk oleh komunitas Batak lainnya. Grup Pancaragam Tilhang menjadi grup yang dinanti-nanti dalam serial musik daerah di radio Nirom dan pertunjukan di Concordia. Tilhang Oberlin Gultom perintis musik tradisi rakyat memelopori Opera Batak (OB) dengan grup Pancaragamnya, menjadi salah satu bentuk kesenian yang digemari kaum bangsawan (kolonial) karena mengadopsi konsep opera Italia. Masyarakat biasa juga senang dengan tampilan grup Pancaragam ini. OB merupakan pertunjukan sandiwara panggung yang dikenal masyarakat Batak secara turun temurun. Kisah yang diangkat dalam OB umumnya tentang legenda, mitos, cerita kepahlawanan, dan kehidupan keseharian masyarakat.
Awalnya, Tilhang bersama sahabatnya Pipin Butar-butar dan Adat Raja Gultom membentuk grup dan menamakan grup trionya dengan sebutan Tilhang Parhusapi. Grup kesenian tradisi rakyat di tanah Batak ini mengombinasikan lakon dialog dan nyanyian serta sesekali tokoh dalam cerita, mengungkapkan isi hati dengan tembang. Dalam perjalannya kombinasi dengan tari (tortor) masuk, nama Tilhang Parhusapi pun berobah menjadi Torsa Batak Nagalia (1928). Persembahan pertama dipertontonkan dihadapan para bangsawan kolonial Belanda di Sumatra biosccop pada tahun 1929 (De Sumatra Post. 09-04-1929). Sejak itu Diege Van Biggelar seorang mosionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir, memomulerkar pertunjukan itu dengan nama Tilhang Batak Hindia Toneel Gezelschap. Sejak Diege Van Biggelar memomulerkan nama OB, grup Torsa Batak Nagalia semakin dikenal masyarakat. Pengelanaan dari kampung ke kampung, kota ke kota semakin kerap, diantara kota yang dikunjungi untuk pertunjukan OB adalah Tiga Dolok, berlanjut ke Medan, Penang, Kuala Lumpur, dan Singapore (De Sumatra Post, 19-11-1933). Tahun 1933 sampai tahun 1935 Tilhang menghibur para bangsawan Belanda di Balige. Pada masa Jepang menduduki Tanah Batak nama OB Tilhang berubah menjadi Sandiwara Asia TimurRaya (1942).
Comments